Pelajaran dari Korupsi Anggota Dewan

Pelajaran dari Korupsi Anggota Dewan



Oleh
Emerson Yuntho

Tahun 2008 dapat dikatakan sebagai masa yang paling suram bagi institusi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini akibat peritstiwa penangkapan dan penahanan anggota DPR yang diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara korupsi.
Sejumlah anggota DPR dituding menerima gratifikasi dalam perkara korupsi aliran dana Bank Indonesia, pengadaan pemadam kebakaran, pengalihan fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan Kepulauan Riau dan Tanjung Api-api, Sumatera Selatan.
Kejadian ini tidak saja mencoreng institusi DPR secara kelembagaan, namun juga berdampak pada semakin menurunnya kepercayaan publik terhadap para wakilnya di Senayan. Institusi DPR masih dinilai belum bersih (steril) dari praktik korupsi.
Indikator ini setidaknya juga diperkuat dari survei persepsi masyarakat yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia pada tahun 2005-2007, yang selalu menempatkan DPR dalam peringkat tiga besar sebagai lembaga yang paling korup di Indonesia.
Fenomena suap atau gratifikasi yang menimpa anggota DPR biasanya muncul pada saat seperti pembahasan rancangan undang-undang, penanganan kasus, pemekaran wilayah, kunjungan kerja, pembahasan anggaran, pengambilan suatu kebijakan oleh DPR atau Komisi, studi banding keluar negeri, persiapan rapat dengar pendapat dengan BUMN atau instansi swasta lainnya, atau proses uji kelayakan dan kepatutan pejabat publik.
Meskipun suap dan gratifikasi masuk kategori korupsi dan diancam dengan pidana perjara, sayangnya pengungkapan kasus ini yang diduga melibatkan anggota dewan aktif seringkali tidak pernah berujung sampai ke pengadilan.
Sebelum tahun 2008, KPK maupun Kejaksaan bahkan terkesan menghindar jika harus berurusan dengan praktek korupsi yang melibatkan para politisi. Upaya menjerat oknum anggota DPR baru terlihat mengalami kemajuan pada periode KPK jilid II (2008-2011), meskipun hal ini harus melalui proses yang berliku.

Pengawasan

Berulangnya kejadian suap atau gratifikasi ini juga semakin menunjukkan adanya problem mendasar dari hampir semua anggota parlemen kita yaitu mengenai aspek integritas. Setelah terpilih menjadi anggota DPR RI, proses pengawasan relatif menjadi lemah baik dari internal partai politik maupun institusi DPR sendiri.
Jika dirunut kebelakang, mayoritas partai politik di negeri ini tidak pernah melakukan seleksi secara ketat atau melakukan uji kelayakan dan kepatutan bagi para calon legislatif yang akan mewakili partai. Loyalitas dan kemampuan keuangan (finansial) seringkali menjadi faktor menentukan diterima atau tidaknya seorang menjadi kader atau calon anggota legislatif. Kriteria kualitas dan integritas bukanlah prioritas utama dan terkadang dikesampingkan.
Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR juga terkesan seadanya dan hanya mengandalkan Badan Kehormatan (BK). Meskipun ada beberapa kemajuan, namun kinerja BK seringkali dinilai meragukan karena adanya tarik ulur kepentingan dari masing-masing partai politik. Pemberian sanksi yang dijatuhkan oleh DPR maupun BK juga tidak memberikan efek jera bagi oknum anggota dewan.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sedikitnya sudah ada 10 orang anggota DPR RI yang saat ini aktif pernah dan masih tersandung kasus korupsi. Jumlah ini masih sedikit dibandingkan dengan anggota dewan ditingkat lokal atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Selama empat tahun terakhir, tidak kurang 1437 orang anggota DPRD di seluruh Indonesia telah diproses secara hukum dalam perkara korupsi, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan hingga yang telah diputus oleh pengadilan.
Meski demikian pola dan modus korupsi yang dilakukan oleh politisi di Jakarta dan di daerah berbeda satu dengan yang lain. Korupsi yang dilakukan politisi di Jakarta cenderung dilakukan secara individu.
Korupsi di legislatif daerah melibatkan banyak anggota DPRD mengingat korupsi yang dilakukan merupakan buah kesepakatan banyak pihak. Hal ini kemudian menimbulkan istilah “Korupsi berjamaah” merupakan sebuah term yang diartikan sebagai praktek korupsi yang dilakuan secara bersama-sama.
Sayangnya langkah KPK untuk membersihkan praktik korupsi di lembaga legislatif baik di pusat atau di daerah justru tidak didukung penuh oleh para politisi di Senayan. Dalam kasus terungkapnya dugaan suap yang melibatkan Al Amin misalnya, beberapa anggota dewan bahkan memberikan pernyataan dan alibi bahwa peristiwa tersebut bukanlah kasus suap, padahal proses pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK juga belum tuntas.

Solidaritas yang Sempit

Upaya yang dilakukan oleh KPK bukannya dilihat dari sisi positif yaitu mendorong pemulihan citra dan kehormatan DPR, namun dipandang secara negatif karena menjadi ancaman bagi anggota dewan yang katanya terhormat. Kondisi ini justru untuk membangun solidaritas yang sempit diantara anggota dewan dan partai politik. Bahkan muncul wacana yang tidak bertanggung jawab yaitu mengenai pembubaran KPK.
Ini meninggalkan kesan dan pesan bahwa DPR dan partai politik belum sepenuhnya mendukung upaya pemberantasan korupsi di republik ini, padahal seperti terjadi di banyak negara,semisal Inggris dan China, keberhasilan pemberantasan korupsi tidak pernah lepas dari peranan parlemen dan partai politik.
Pada sisi lain, munculnya musibah yang menimpa anggota DPR layak menjadi pelajaran baik untuk DPR, Partai Politik dan masyarakat. Institusi DPR perlu memperkuat fungsi dan peran BK DPR dalam melakukan pengawasan dan menjaga kehormatan, membuat etika dan sanksi yang tegas kepada anggotanya yang dinilai justru merusak citra DPR.
Selain itu, DPR juga tidak perlu malu melibatkan berbagai kalangan seperti KPK, Media maupun masyaraat untuk bersama-sama melakukan kontrol terhadap kinerja dan perilaku para anggota dewan.
Partai politik dimasa datang harus lebih selektif dalam memilih para kadernya. Fit and proper test secara terbatas menjadi layak dilakukan sebelum menentukan orang-orang untuk mewakili partainya di DPR atau DPRD. Aspek kualitas dan integritas harus menjadi kriteria utama dalam memilih seseorang sebagai wakil rakyat.
Sementara itu di masyarakat, sejumlah peristiwa yang ditunjukkan sebaiknya menjadi pembelajaran poltik untuk lebih cermat dalam memilih politisi yang nantinya akan menjadi wakilnya di DPR di DPRD. Politisi yang korup dan partai politik yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi sudah selayaknya tidak dipilih kembali pada pemilihan umum 2009.

Penulis adalah anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch.

Welcome..
 
 
Today, there have been 3 visitors (4 hits) on this page!
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free